LINGKUNGAN BELAJAR DAN PEMBELAJARAN DALAM JARINGAN DENGAN PENGAYAAN AKTIVITAS MANDIRI (Perspektif Andragogi dan Heutagogi)

Henry Praherdhiono
Henry.praherdhiono.fip@um.ac.id
Teknologi Pendidikan

Abstrak
Andragogi dan heutagogi merupakan perkembangan keilmuan desain pembelajaran. Perguruan tinggi merupakan agen desain pembelajaran merupakan institusi terbuka dalam mengkontruksi berbagai keilmuan. Walaupun karakter keilmuan memerlukan desain pembelajaran yang berbeda-beda, namun dalam perguruan tinggi untuk dapat menyelesaikan permasalahan nyata membutuhkan adanya jejaring keilmuan baik secara monodisplin, interdisiplin hingga transdisiplin. Dengan karakter bahwa pendidikan tinggi merupakan pembelajaran dengan mengutamakan interaksi orang dewasa kapanpun dan dimanapun serta merupakan pembelajaran yang mengutamakan keputusan berada pada setiap pebelajar, maka andragogi dan heutagogi sangat sesuai dengan karakter pendidikan tinggi dalam jaringan
Kata kunci: Dalam Jaringan, Andragogi, Heutagogi

Pendahuluan

Belajar dan pembelajaran merupakan peristiwa kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan hanya berupaya menelusuri salah satu cara berpikir manusia. Meskipun masih ada banyak misteri tentang bagaimana manusia belajar dan bagaimana pembelajaran sebagai fungsi kerja otak, namun ilmu pendidikan akan tetap menyibak apa yang terjadi sebagai kodrat tentang alam ini. Konstruksi ini karena pepanjang sejarah, ada peristiwa dan gerakan yang menandai basis pengetahuan (Knowles et al., 2020). Pencerahan politik, perang dunia, dan kemajuan teknologi hanyalah beberapa di antaranya. Para sarjana dan praktisi yang berpengaruh telah memimpin

Belajar dan pembelajaran pada perguruan tinggi, merupakan domain pembelajaran orang dewasa. Pendekatan andragogi merupakan upaya dalam mendekati kondisi dan mengembangkan teori khusus untuk pembelajaran orang dewasa. Knowles (1978) menekankan bahwa orang dewasa mengarahkan dirinya sendiri dan berharap untuk mengambil tanggung jawab atas keputusan. Sehingga diharapkan bahwa bahwa pembelajaran diperguruan tinggi untuk orang dewasa harus mengakomodasi aspek fundamental ini.

Pembelajaran dalam jaringan (daring) meletakkan pebelajar sebagai subyek dalam peristiwa belajar dan pembelajaran. Pendekatan andragogi berupaya membangun asumsi tentang desain pembelajaran (November 2018 18:53, n.d.): (1) Orang dewasa perlu mengetahui mengapa mereka perlu mempelajari sesuatu (2) Orang dewasa perlu belajar secara eksperiensial, (3) Orang dewasa pendekatan pembelajaran sebagai pemecahan masalah, dan (4) Orang dewasa belajar terbaik jika topiknya sangat berharga. Dalam istilah praktis, andragogi berarti bahwa pengajaran untuk orang dewasa perlu lebih fokus pada proses dan lebih sedikit pada konten yang diajarkan. Sehingga aktivitas merupakan basis dari pembelajaran. Sebagai contoh kita menggunakan seperti studi kasus, bermain peran, simulasi, dan evaluasi diri adalah yang paling berguna. Pengajar perlu mengadopsi peran fasilitator daripada hanya sekedar pemberi nilai.

Pendekatan heutagogi membangun peran penting pada pemberdayaan individu. Heutagogi dapat diterapkan untuk segala kondisi karena pendekatan heutagogi bukan pendekatan baru namun telah ada 20 tahun silam. Berbagai catatatan mengemukakan bahwa pendekatan heutagogi bahkan telah tercatat pada serbet di sebuah restoran pada tahun 2000 (Hase, 2009; Hase and Kenyon, 2013, 2007, 2000). Pendekatan heutagogi untuk diterapkan dalam aktivitas belajar dan pembelajaran memang bukan merupakan ide yang terbaik. Namun berbagai diskusi, kajian dan penelitian yang dilakukan guru, dosen, widyaiswara atau yang dikenal sebagai pengajar menunjukkan bahwa dalam proses belajar mengajar, perkuliahan, pelatihan selalu terjadi ketidakpuasan (Luan and Bakar, 2008; Ponte, 2006). Hasil belajar yang diperoleh pengajar cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan stakeholders sehingga pebelajar lupa bahwa sesungguhnya dirinyalah yang membutuhkan belajar untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Pendekatan heutagogi dimaksudkan untuk menumbuhkan kemampuan pebelajar secara mandiri dalam memperluas batas pengetahuan, sikap dan keterampilan. Pergeseran pembelajaran menunjukkan bukti bahwa pedagogi didominasi oleh orientasi pembelajaran berpusat pada guru, dosen, atau widyaiswara semata. Heutagogi menawarkan konstruksi pembelajaran yang berkembang ke arah yang lebih aspiratif, adaptif dan antisipatif ditengah merebaknya covid-19 dan dimasa-masa yang akan datang.

Gambar 1. Kebutuhan Heutagogi

Heutagogi dalam masa darurat memberikan kontribusi kemudahan belajar secara personal dengan menyediakan pilihan-pilihan yang adaptif. Salah satu dari pilihan itu adalah pembelajaran online menjadi pilihan ditengah pandemi. Tentunya bukan sesuatu yang aneh kalau pembelajaran online diterapkan secara massal, namun karena pelaksanaanya mendadak maka pembelajaran online menjadi alat pembelajaran darurat. Sebenarnya pembelajaran secara online tidak hanya dikonstruksi dalam pembelajaran yang darurat, namun secara luas adalah ingin memecahkan segala keterbatasan pembelajaran yang dilakukan secara onsite (yang secara umum disebut offline). Heutagogi memberikan peluang terhadap pembelajaran personal yang menggunakan sistem online (gambar 1). Semua peneliti mengerucut untuk menyetujui mengapa semua memilih pembelajaran online pada saat pandemi covid 19 melanda (Kaufhold et al., 2020; W. Zhang et al., 2020). Kebutuhan kondisi menuntut prosedur darurat dengan pilihan social distance dan phisical distance. Sementara kebutuhan yang akan datang perlu mendapatkan respons sebagai keinginan untuk merdeka.

Mengkontruksi Aktivitas Belajar dan Pembelajaran Dalam Jaringan

Andragogi dan Heutagogy merupakan cara mengajar yang didasari oleh keilmuan desain pembelajaran. Sehingga perlu diambil sebuah strategi bahwa mahasiswa adalah human yang perlu difasilitasi dan ditingkatkan performanya serta bagaimana meletakkan mahasiswa sebagai subyek dalam belajar (Bhoyrub et al., 2010; Blackley and Sheffield, 2015). Kesepakat merupakan ciri manusia dalam berinteraksi. Sehingga dalam mengkontruksi mahasiswa sebagai manusia adalah mengajak mereka bersepakat. Pebelajar dan fasilitator menyepakati beberapa hal yaitu 1) Pembelajar dalam perkuliahan 2) kerangka waktu untuk pembelajaran, 3) metodologi yang akan digunakan, 4) frekuensi tinjauan kemajuan dan 5) bentuk penilaian akhir (jika diperlukan). Kesepakatan dapat dilakukan secara verbal maupun didokumentasikan secara tertulis. Pebelajar kemudian dapat diingatkan tentang tanggung jawab mereka, jika rencana pembelajaran berjalan di luar jalur. Secara tegas perlu dinyatakan bahwa perjanjian bukan merupakan kontrak formal dan mengikat. Sebaliknya, perlu ada fleksibilitas yang tinggi, sehingga jika keadaan berubah, program pembelajaran dapat beradaptasi. Misalnya perlu diakomodasi tentang temuan aspek pembelajaran oleh pebelajar yang menurut mereka relevan atau menarik bagi mereka, dan mereka ingin mengubah fokus pembelajaran mereka.

Gambar 2. Membangun kesepakatan dengan menyapa

Menyapa pebelajar merupakan aktivitas belajar yang mendasar. Manusia dalam konstruksi sosial merupakan kegiatan berinteraksi dengan individu.  Pada penelitian Lu dan Churchill (2014) menunjukkan bahwa interaksi sosial yang diberikan oleh lingkungan belajar walaupun berlangsung singkat, namun hal tersebut merupakan kegiatan individu dan bersifat kasual. Konstruksi komunikasi mendukung kemandirian siswa, sehingga perlu upaya membina komunikasi (gambar 2). Pola interaksi sosial seperti itu di lingkungan daring tampaknya meningkatkan keterlibatan sosial dan keterlibatan kognitif. Rekomendasi dibuat sehubungan dengan pemanfaatan yang efektif dari platform media sosial dan kesepakatan aktivitas (gambar 3) untuk mendukung pembelajaran yang produktif dan bermakna.

Gambar 3. Membangun kesepakatan dengan aktivitas

Pola andragogi dan heutagogi adalah memfasilitasi dan bukan menggurui. Orang yang akan memfasilitasi kemajuan pebelajar digambarkan sebagai fasilitator. Peran mereka adalah memastikan bahwa pebelajar perlu disediakan dengan panduan yang relevan untuk memastikan bahwa hasil pembelajaran akan dioptimalkan. Interaksi dengan pelajar juga dapat memberikan pembelajaran bagi fasilitator. Dosen yang berperan sebagai fasilitator secara teoritis mungkin mudah, namun secara praktis sangatlah sulit. Dosen harus memiliki minat dan filosofis bahwa kegembiraan belajar dihidupkan kembali ketika mereka menggunakan metode pembelajaran berpusat kepada mahasiswa menjadi lebih menarik (Nistor et al., 2015; Ponte, 2006). Dosen dan guru yang berkomitmen penuh untuk pembelajaran mereka dan rencana pembelajaran. Pada gambar 4 digambarkan untuk memperoleh definisi secara mandiri, maka pebelajar akan kan melakukan serangkaian aktivitas yang harus dilakukan setiap mahasiswa

Gambar 4. Memfasilitasi dengan aktivitas

Ciri khas antara andragogi dan heutagogi adalah memberikan berbagai alternatif yang dapat dipilih. Pebelajar, (seperti yang diharapkan mereka sendiri), memiliki jangkauan yang luas atau sempit dalam hal pembelajaran yang ingin mereka lakukan. Minat pebelajar memiliki perbedaan, Beberapa pebelajar ingin mendapatkan pemahaman mendalam tentang bidang yang sangat kompleks, sementara pebelajar yang lain memiliki kecenderungan belajar pada bidang pembelajaran yang lebih sempit. Peran fasilitator adalah membantu pelajar lebih jelas mendefinisikan apa yang ingin mereka pelajari. Fasilitator akan mempertimbangkan tiga hal: 1) relevansi, 2) pencapaian, dan 3) tingkat. Apa yang ingin dipelajari oleh pelajar harus relevan dengan program studi yang dipilihnya saat ini, topiknya harus sesuai dan bukan hanya menarik bagi pebelajar. Fasilitator harus mampu menghitung berapa banyak waktu yang tersedia untuk pelajar untuk melakukan pilihan jalan mereka (Hase, 2009). Juga sebagai fasilitator penting untuk menentukan tingkat sebagai ketetapan ruang lingkup pembelajaran yang dianggap sebagai capaian pembelajaran atau mendefinisikan capaian kesuksesan. Perlu dihindari dari fasilitator adalah Pendekatan pembelajaran berpusat pada guru yaitu memilihkan konten dan proses pembelajarannya. Gambar 4 merupakan cara memfasilitasi kemampuan bahasa mahasiswa. Mahasiswa memerlukan fasilitas alih bahasa apabila ada keterbatasan kemampuan bahasa agar mahasiswa tetap mendapatkan pengalaman bahasa melalui memberikan teknik alih bahasa dengan menggunakan perangkat tertentu (Shadiev et al., 2018).

Andragogi dan Heutagogi mengasumsikan bahwa ketika orang diberikan pengetahuan dan keterampilan baru, ada kemungkinan bahwa pelajar akan mengembangkan wawasan baru yang tidak diketahui oleh fasilitator.  Proses untuk memperoleh wawasan pebelajar atau pengalaman belajar sering kita definisikan sebagai pembelajaran. Pebelajar kemungkinan memiliki 1) pertanyaan baru, 2) tantangan dan 3) kemungkinan jalan lebih lanjut untuk mereka kejar. Sehingga penting bagi fasilitator untuk menemukan atau meninjau secara berkala tentang 1) kemajuan apa yang telah dibuat dan 2) apa kebutuhan baru pebelajar. Sesi peninjauan dapat melibatkan pertemuan yang disepakati dengan fasilitator sebagai individu atau kelompok, tatap muka atau menggunakan teknologi yang tersedia. Bisa pula melakukan kegiatan sinkron atau asinkron menggunakan Learning Management System. Tinjauan juga dapat tertanam dalam pengalaman belajar dengan meminta peserta terlibat dalam refleksi kelompok dan individu yang menghasilkan keluaran yang dapat dilaporkan.

Kesimpulan

Ada sedikit perubahan mendasar sehubungan dengan bagaimana kita mendekati pengajaran dan pembelajaran di institusi pendidikan di era kemandirian belajar. Kita semua menyadari ada ketidakpuasan yang meningkat antara penyelenggara pendidikan, pebelajar, pembelajar dan masyarakat dengan kualitas pengalaman belajar. Meskipun kemajuan teknologi pembelajaran di masyarakat tidak henti-hentinya (Internet, komputer berukuran saku, web nirkabel, telepon seluler, dan radio satelit, televisi, permainan, dan simulasi), inovasi teknologi di Institusi Pendidikan sebagian besar terbatas pada administrasi dan penelitian. Inovasi pembelajaran dalam perspektif andragogi dan heutagogi perlu diupayakan dalam membengun kenyamanan lingkungan belajar. Pengalaman belajar humanistik memerlukan dukungan institusi pendidikan untuk melihat bagaimana pendekatan yang dilakukan digunakan dalam aktivitas belajar dan pembelajaran dalam memanfaatkan teknologi di pembelajaran mandiri.

 

Referensi

Bhoyrub, J., Hurley, J., Neilson, G.R., Ramsay, M., Smith, M., 2010. Heutagogy: An alternative practice based learning approach. Nurse Educ. Pract. 10, 322–326.

Blackley, S., Sheffield, R., 2015. Digital andragogy: A richer blend of initial teacher education in the 21st century. Issues Educ. Res.

Hase, S., 2009. Heutagogy and e-learning in the workplace: Some challenges and opportunities. Impact J. Appl. Res. Workplace E-Learn. 1, 43–52.

Hase, S., Kenyon, C., 2013. Self-determined learning: Heutagogy in action. A&C Black.

Hase, S., Kenyon, C., 2007. Heutagogy: A child of complexity theory. Complicity Int. J. Complex. Educ. 4.

Hase, S., Kenyon, C., 2000. From andragogy to heutagogy. Ulti-BASE -Site.

Knowles, M.S., 1978. Andragogy: Adult learning theory in perspective. Community Coll. Rev. 5, 9–20.

Knowles, M.S., Holton III, E.F., Swanson, R.A., Robinson, P.A., 2020. The adult learner: The definitive classic in adult education and human resource development.

Kompasiana.com, n.d. Belajar Kreatif, Menggunakan Padlet sebagai E-Learning [WWW Document]. KOMPASIANA. URL https://www.kompasiana.com/cangkoiburong/5bd03e4a677ffb4afb55a392/belajar-kreatif-menggunakan-padlet-sebagai-e-learning (accessed 6.25.20).

Lu, J., Churchill, D., 2014. The effect of social interaction on learning engagement in a social networking environment. Interact. Learn. Environ. 22, 401–417.

Luan, W.S., Bakar, K.A., 2008. The shift in the role of teachers in the learning process. Eur. J. Soc. Sci. 7, 33–41.

Nistor, N., Trăuşan-Matu, Ş., Dascălu, M., Duttweiler, H., Chiru, C., Baltes, B., Smeaton, G., 2015. Finding student-centered open learning environments on the internet: Automated dialogue assessment in academic virtual communities of practice. Comput. Hum. Behav. 47, 119–127.

November 2018 18:53, T.D. pada 30, n.d. Andragogy (Malcolm Knowles). InstructionalDesign.org. URL https://www.instructionaldesign.org/theories/andragogy/ (accessed 2.23.21).

Ponte, L.M., 2006. The case of the unhappy sports fan: Embracing student-centered learning and promoting upper-level cognitive skills through an online dispute resolution simulation. J Leg. Stud Educ 23, 169.

Praherdhiono, H., Adi, E.P., Prihatmoko, Y., Nindigraha, N., Soepriyanto, Y., Indreswari, H., Oktaviani, H.I., 2020. Implementasi Pembelajaran di Era dan Pasca Pandemi Covid-19. Seribu Bintang.

Praherdhiono, H., Setyosari, P., Degeng, I.N.S., Slamet, T.I., Surahman, E., Adi, E.P., Degeng, M.D.K., Abidin, Z., 2019. Teori dan Implementasi Teknologi Pendidikan: Era Belajar Abad 21 dan Revolusi Industri 4.0. Seribu Bintang.

Shadiev, R., Hwang, W.-Y., Huang, Y.-M., Liu, T.-Y., 2018. Facilitating application of language skills in authentic environments with a mobile learning system. J. Comput. Assist. Learn. 34, 42–52.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *